Hak Asasi yang Dicederai dengan Adanya Penggunaan Saksi Mahkota dalam Persidangan

Dinda Mahadewi
3 min readAug 16, 2023

--

Hak asasi manusia atau HAM merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia)

gambar diperoleh dari freepik.com

Isu mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan isu yang tak lekang akan waktu dan krusial untuk ditegakkan keberadaannya. Pada prinsipnya, HAM melekat pada diri masing-masing individu dan tidak dapat dicabut. HAM berlaku kapan, di mana, dan juga kepada siapa saja sehingga membuat HAM ini bersifat universal. Dalam terminologi masa kini, HAM dikategorikan menjadi hak sipil dan politik yang meliputi kebebasan sipil seperti misalnya hak untuk hidup, untuk tidak disiksa, dan juga kebebasan berpendapat. HAM juga meliputi hak ekonomi, sosial dan budaya yang kemudian berkenaan dengan akses untuk memperoleh pendidikan yang layak ataupun hak atas kesehatan.

Berbicara mengenai HAM, topik yang dibahas dalam tulisan ini akan membahas mengenai kaitan keberadaan penggunaan saksi mahkota dengan HAM. Pada hakikatnya, saksi mahkota merupakan teman terdakwa yang bersama-sama melakukan tindak kejahatan yang kemudian dipergunakan dalam persidangan untuk diminta kesaksiannya. Namun, seperti yang kita ketahui, praktek di lapangan sering kali berbeda dengan peraturan yang berlaku.

gambar diperoleh dari freepik.com

Penggunaan saksi mahkota ini sebenarnya telah mencederai Hak Asasi Manusia yang meliputi hak sipil dan politik dan hal ini tercantum dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Pasal 14 ayat (3) huruf g yang mana termaktub bahwa “… Not to be compelled to testify against himself or to confess guilt” dengan kata lain seseorang tidak bisa dipaksa untuk memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya sendiri atau dipaksa mengaku bersalah, hal ini sering dikenal dengan asas non-self incrimination.

Asas non-self incrimination merupakan salah satu indikator terbangunnya sistem hukum yang adil atau fair trial. Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP) Indonesia sendiri selalu mengedepankan perlindungan hak asasi manusia. Saksi mahkota acapkali muncul sebagai konsekuensi logis ketika penyidik mengalami keterbatasan untuk mendapatkan alat bukti, sehingga pada akhirnya ‘hadirlah’ saksi mahkota yang notabene juga berstatus sebagai terdakwa dalam penuntutan terpisah. Meski di dalam KUHAP tidak secara otentik menyebut mengenai saksi mahkota, ketentuan Pasal 168 KUHAP ternyata menentukan bahwa pihak yang bersama-sama sebagai terdakwa tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi (Muhammad Rustamaji & Dewi Gunawati, 2021:108)

Adapun dalam ketentuan Pasal 168 KUHAP sesungguhnya tidak memperkenankan penggunaan saksi mahkota. Adapun Pasal 168 KUHAP berbunyi:

Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:

a. keluarga sedarah atau semanda dalam garis lurus ke atas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

b. saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

c. suami atau isteri terdakwa maupun sudah bercerai atau yang bersama- sama sebagai terdakwa.

Dengan adanya hal tersebut yang menjadi masalah dalam praktek persidangan adalah mengenai diizinkan atau tidaknya penggunaan saksi mahkota. Di satu sisi, penggunaan saksi mahkota memiliki peran besar guna mengungkap tindak kejahatan yang minim saksinya, namun di sisi lain hal ini telah mencederai HAM daripada saksi mahkota tersebut.

--

--